Nama :
Bram Kutut
Kelas :
4EB02
NPM :
20208256
Etika Governance
Good
Corporate Governance, Pengertian dan Konsep Dasar
A.
Pengertian
dan Prinsip Dasar Good Corporate Governance (GCG)
‘The proper governance of companies will become as crucial
to the world economies as the proper governing of countries.’ (James D. Wolfensohn, President of
the World Bank, c. 1999)
Sulit
dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate
Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut
juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua
keyakinan.
Pertama,
GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan
dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global - terutama
bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka.
Kedua,
krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul
karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, Sistem Regulatory yang payah,
Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah,
serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak
pemegang saham minoritas.
Berdasarkan
keyakinan-keyakinan di atas itulah maka tidak mengherankan jika selama
dasawarsa 1990-an, tuntutan terhadap penerapan GCG secara konsisten dan
komprehensif datang secara beruntun. Mereka yang menyuarakan hal itu di
antaranya adalah berbagai lembaga investasi baik domestik maupun mancanegara,
termasuk institusi sekaliber World Bank, IMF, OECD, dan APEC. Dengan
melontarkan beberapa prinsip umum dalam CG seperti fairness, transparency,
accountability, stakeholder concern, dapat disimpulkan bahwa
penerapan GCG diyakini akan menolong perusahaan dan perekonomian negara yang
sedang tertimpa krisis bangkit menuju ke arah yang lebih sehat, maju, mampu
bersaing, dikelola secara dinamis serta profesional. Ujungnya adalah daya saing
yang tangguh, yang diikuti pulihnya kepercayaan investor.
Tentunya,
lembaga-lembaga besar itu tak asal bicara. Sangat jelas bahwa perhatian terhadap corporate
governance belakangan ini terutama dipicu oleh skandal spektakuler
perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan Eropa, seperti Enron, Worldcom,
Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck, Maxwell, dan lain-lain.Cadbury
Report (UK) dan Treadway Report (US) secara mendasar menyebutkan bahwa
keruntuhan perusahaan-perusahaan publik tersebut dikarenakan oleh kegagalan
strategi maupun praktik curang dari manajemen puncak yang berlangsung tanpa
terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena lemahnya pengawasan yang
independen oleh corporate boards.
Teori-teori Terkait
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah
stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun
di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada
hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab
memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat
dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship
theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak
dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders
pada khususnya.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh
Michael Johnson, seorang professor dari Harvard, memandang bahwa manajemen
perusahaan sebagai ‘agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan
penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan
bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship
model. Bertentangan dengan stewardship theory, agency theory memandang
bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan
sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada
khususnya. Dengan demikian, “managers could not be trusted to do their job –
which of course is to maximize shareholder value’ (Tricker, Opcit).
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory
mendapat respons lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang
ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan
bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan perusahaan harus diawasi
dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan
kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa
yang disebut sebagai agency costs, yang menurut teori ini harus
dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk mengurangi kerugian yang
timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya enforcement-nya.
‘Biaya’ yang harus dibayar tersebut,
dalam konteks corporate governance, adalah biaya untuk:
“…control
managerial ‘opportunism’ by having a board chair independent of the CEO and
using incentives to bind CEO interests to those of shareholders (Jensen, M.C.,
and W.H. Meckling (1986), ‘Theory of the firm – managerial behaviour, agency
costs and ownership structure, “ Journal of Financial Economics, No. 3, pp.
305-60).
Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan
oleh pemegang saham; biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan
laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian
internal; serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan
pemegang saham sebagai bentuk ‘bonding expenditures’ yang diberikan
kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan
menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.
Meskipun demikian, potensi untuk munculnya agency problem
tetap ada karena adanya pemisahan antara kepengurusan dengan kepemilikan
perusahaan, khususnya di perusahaan-perusahaan publik.
Bagaimana perbandingan kegiatan antara corporate
governance dan corporate management memperlihatkan bahwa corporate
governance sangat terkait dengan aspek pengawasan dan akuntabilitas,
sementara corporate management terkait dengan keputusan-keputusan dan
pengendalian eksekutif serta manajemen operasional. Sementara itu, titik temu
atau irisan antara keduanya dalam banyak hal terwujud dalam pengambilan
keputusan-keputusan strategik perusahaan sebagaimana terlihat pada gambar
berikut ini:
B. Definisi Good Corporate Governance
(GCG)
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata
tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 -
melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report - mengeluarkan
definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip
yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara
kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya
kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada
umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur,
manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan
perusahaan di lingkungan tertentu.
Center
for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG,
papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right),
proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen
perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholders,
bukan terbatas kepada shareholders saja. Hak adalah berbagai kekuatan
yang dimiliki stakeholders secara individual untuk mempengaruhi manajemen.
Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian
merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholders menerima informasi
yang diperlukan seputar aneka kegiatan perusahaan.
Sejumlah
negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara
mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit
perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG
sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya.
Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan,
dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders
lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan
keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility,
accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara
itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai
utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability
dan Participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on
Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu
proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola
bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan
akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham
dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder
lainnya.
Lantas
bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance
kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG, governance
sering juga disebut “tata pamong”, atau penadbiran - yang terakhir ini, bagi
orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari
Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan
tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen.
Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan
Indonesia yang benar.
Kemudian,
“GCG” ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah
kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance
merupakan:
1.
Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
2.
Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan
yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan
penyalahgunaan aset perusahaan.
3.
Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,
berikut pengukuran kinerjanya.
Dari
pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG yang perlu
dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni;
·
Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ
perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan
direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur
kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut (keseimbangan
internal)
·
Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai
entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung
jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara
perusahaan dengan stakeholders (keseimbangan eksternal). Di antaranya,
tanggung jawab pengelola/pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan, serta
pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan stakeholders lainnya.
·
Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi
yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai perusahaan.
Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai
perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas perusahaan serta ikut
menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.
·
Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang
saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui
keterbukaan informasi yang material dan relevan serta melarang penyampaian
informasi untuk pihak sendiri yang bisa menguntungkan orang dalam (insider
information for insider trading).
- Empat Prinsip Utama Corporate Governance
Setelah definisi serta aspek penting
GCG terpaparkan di atas, maka berikut adalah prinsip yang dikandung dalam GCG.
Di sini secara umum ada empat prinsip utama yaitu: fairness, transparency,
accountability, dan responsibility.
1.
Fairness (Kewajaran)
Secara
sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang
adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Fairness
juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor - khususnya pemegang saham
minoritas - dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider
trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan),
dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang
dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.
Biasanya,
penyakit yang timbul dalam praktek pengelolaan perusahaan, berasal dari
benturan kepentingan. Baik perbedaan kepentingan antara manajemen (Dewan Komisaris
dan Direksi) dengan pemegang saham, maupun antara pemegang saham pengendali
(pemegang saham pendiri, di Indonesia biasanya mayoritas) dengan pemegang saham
minoritas (pada perusahaan publik biasanya pemegang saham publik). Di tengah
situasi seperti ini, lewat prinsip fairness, ada beberapa manfaat yang
diharapkan bisa dipetik. Apa saja manfaat itu?
Fairness
diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent
(hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair
(jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada
perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan seperti disebutkan di
atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin
perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun
seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa
diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa peraturan dan perundang-undangan
yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan secara baik serta efektif.
Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin adanya perlindungan atas
hak-hak pemegang saham manapun, tanpa ada pengecualian. Peraturan
perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
menghindari penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation abuse). Di
antara (litigation abuse) ini adalah penyalahgunaan ketidakefisienan
lembaga peradilan dalam mengambil keputusan sehingga pihak yang tidak beritikad
baik mengulur-ngulur waktu kewajiban yang harus dibayarkannya atau bahkan dapat
terbebas dari kewajiban yang harus dibayarkannya.
2.
Transparency (Keterbukaan Informasi)
Transparansi
bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan.
Perbincangan
prinsip ini sendiri sangatlah menarik. Pasalnya, isu yang sering mencuat adalah
pertentangan dalam menjalankan prinsip ini. Semisal, adanya kekhawatiran
perusahaan bahwa jika ia terlalu terbuka, maka strateginya dapat diketahui
pesaing sehingga membahayakan kelangsungan usahanya. Wajarkah kekhawatiran
seperti itu?
Menurut
peraturan di pasar modal Indonesia, yang dimaksud informasi material dan
relevan adalah informasi yang dapat mempengaruhi naik turunnya harga saham perusahaan
tersebut, atau yang mempengaruhi secara signifikan risiko serta prospek usaha
perusahaan yang bersangkutan. Mengingat definisi ini sangat normatif maka perlu
ada penjelasan operasionalnya di tiap perusahaan. Karenanya, kekhawatiran di
atas, sebetulnya tidak perlu muncul jika kita mampu menjabarkan kriteria
informasi material secara spesifik bagi masing-masing perusahaan.
Dalam
mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi
yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat
mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan
berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain
itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara
mudah pada saat diperlukan.
Ada
banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder
dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan
perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap
secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka
dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi
dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan
kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
3.
Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
Akuntabilitas
adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertangungjawaban organ
perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
Masalah
yang sering ditemukan di perusahaan-perusahaan Indonesia adalah mandulnya
fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Atau justru sebaliknya, Komisaris Utama
mengambil peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan direksi. Padahal,
diperlukan kejelasan tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu
mekanisme pengecekan dan perimbangan dalam mengelola perusahaan.
Kewajiban
untuk memiliki Komisaris Independen dan Komite Audit sebagaimana yang
ditetapkan oleh Bursa Efek Jakarta, merupakan salah implementasi prinsip ini.
Tepatnya, berupaya memberdayakan fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Beberapa
bentuk implementasi lain dari prinsip accountability antara lain:
·
Praktek Audit Internal yang Efektif, serta
·
Kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung
jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan Statement of Corporate Intent (Target
Pencapaian Perusahaan di masa depan)
Bila
prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan
fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham,
dewan komisaris, serta direksi. Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan
terhindar dari kondisi agency problem (benturan kepentingan peran).
4.
Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban
perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak,
hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan
kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat.
Beberapa contoh mengenai hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut :
°
Kebijakan sebuah perusahaan makanan untuk mendapat sertifikat “HALAL”.
Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Lewat sertifikat
ini, dari sisi konsumen, mereka akan merasa yakin bahwa makanan yang
dikonsumsinya itu halal dan tidak merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi
Pemerintah, perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut
akan menjamin loyalitas konsumen sehingga kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan
kemampuan mencetak laba lebih terjamin, yang pada akhirnya memberi manfaat
maksimal bagi pemegang saham.
°
Kebijakan perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum.
Ini juga merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi masyarakat,
kebijakan ini menjamin mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam
kesehatannya tercemar. Demikian pula dari sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Sebaliknya dari sisi perusahaan,
kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan usaha karena akan
mendapat dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan.
Penerapan
prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan
operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan
perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu,
lewat prinsip responsibility ini juga diharapkan membantu peran
pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada
segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar.
Prinsip-prinsip
di atas perlu diterjemahkan ke dalam lima aspek yang dijabarkan oleh OECD (Organization
for Economic Cooperation and Development) sebagai pedoman pengembagan
kerangka kerja legal, institutional, dan regulatory untuk corporate
governance di suatu negara. Lima aspek tersebut antara adalah:
1. Hak-hak
pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak pemegang saham harus
dilindungi dan difasilitasi.
2. Perlakuan
setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh pemegang saham termasuk
pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara.
Seluruh pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan
perhatian bila hak-haknya dilanggar.
3. Peran
stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak
para pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai peraturan
perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholders
harus dikembangkan dalam upaya bersama menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan
keberlanjutan perusahaan.
4. Disklosur
dan transparansi: Disklosur atau pengungkapan yang
tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material perusahaan, termasuk
situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance perusahaan.
5. Tanggung
jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards):
Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan
efektif, disertai adanya tuntutan strategik terhadap manajemen, serta
akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan Komisaris terhadap perusahaan dan
pemegang saham.
Daftar
Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar